Jumat, 30 September 2011

1.6. Danau Api

0komentar
Semua yang dilakukan seorang pria secara rahasia di malam hari akan tersingkap dengan jelas siang hari. Kata-kata yang diucapkan secara pribadi akan menjadi percakapan umum yang tidak diharapkan. Perbuatan yang kita sembunyikan hati ini di sudut rumah akan diteriakan di setiap jalan esok.
 
Hantu kegelapan menyingkapkan tujuan Uskup Bulos Galib ketika bertemu dengan Farris Effandi Karamy, dan percakapannya diulang di seluruh kota hingga mencapai telingaku.

Pembicaraan antara Uskup Bulos Galib dan Farris Effandi malam itu bukan tentang masalah orang miskin atau janda atau anak yatim. Tujuan utama menjemput Farris Effandi dan membawanya dengan kereta pribadi Uskup adalah rencana pernikahan Selma dengan keponakan Uskup, Mansour Bey Galib.

Selma adalah anak satu-satunya Farris Effandi yang kaya raya dan pilihan Uskup jatuh pada Selma, bukan karena kecantikan dan hatinya yang mulia, melainkan karena kekayaan ayahnya yang akan menjamin Mansour Bey untuk menjadi makmur dan membuat laki-laki itu orang yang dihormati.

Kepala agama di Timur tidak puas dengan kebijakan hati namun mereka berusaha seluruh anggota keluarga mereka menjadi superior dan penindas. Kejayaan pangeran jatuh kepada putra tertuanya karena warisan turun-temurun, sementara keagungan kepala agama jatuh di antara saudara lelakinya ataupun keponakan lelakinya. Uskup Kristen, imam Islam, pendeta Brahma bagaikan ular laut yang mencengkeram mangsa mereka dengan tentakel dan menghisap darah mereka dengan berbagai cara.

Ketika Uskup meminta tangan Selma untuk keponakannya, satu-satunya jawaban yang ia terima dari ayahnya adalah keheningan dan cucuran air mata, karena ia benci harus kehilangan anak satu-satunya. Jiwa manusia akan gemetar ketika ia dipisahkan dengan anak satu-satunya yang telah ia besarkan menjadi seorang wanita muda.

Kesedihan orangtua pada pernikahan anak perempuan mereka sama dengan kebahagiaan pernikahan anak laki-laki mereka, karena anak laki-laki akan membawa seorang anggota keluarga baru, sementara seorang anak perempuan, karena pernikahan, adalah sebuah kehilangan bagi mereka.

Farris Effandi terpaksa menerima permintaan Uskup, mematuhi kehendak yang sebenarnya tidak ia kehendaki, karena Farris Effandi tahu bahwa keponakan Uskup berbahaya, penuh kebencian, jahat, kejam, dan tamak.

Di Lebanon, tidak ada orang Kristen yang menentang Uskup mereka. Tidak seorang pun dapat tidak mematuhi kepala agama mereka. Mata tidak akan dapat menghindari perisai tanpa tertusuk, dan tangan tidak dapat menggenggam pedang tanpa teriris.

Bila Farris Effandi menolak Uskup dan tidak mematuhi kehendaknya, reputasi Selma akan rusak dan namanya akan dikutuk dengan bibir dan lidah kotor. Dalam pandangan rubah, anggur yang tidak dapat dijangkau adalah anggur masam.

Takdir ini mencengkeram Selma dan membawanya seperti budak penuh rasa malu dalam prosesi kesengsaraan wanita Timur, dan jiwa mulia telah terbang bebas dalam sayap putih cinta di langit penuh cahaya rembulan yang wangi karena keharuman bunga.

Di beberapa Negara, kekayaan orangtua adalah sumber kesengsaraan untuk anak-anak mereka. Kotak besar kuat di mana ayah dan ibu mereka telah bersama-sama gunakan untuk keamanan harta, menjadi penjara sempit dan gelap untuk jiwa keturunan mereka. Dia yang kuasa, yang dipuja orang, menjadi setan yang menghukum jiwa dan membunuh hati. Selma Karamy adalah salah satu dari mereka yang menjadi korban kekayaan orangtua dan kekejaman pengantin pria. Bila saja ayahnya tidak kaya, Selma akan hidup bahagia.

Satu minggu berlalu. Cinta Selma adalah satu-satunya penghiburku, nyanyian yang menyanyikan kebahagiaan untukku di malam hari dan membangunkanku saat fajar untuk menyingkapkan arti kehidupan dan rahasia alam. Itu adalah cinta ketuhanan yang bebas dari rasa cemburu, kekayaan, dan tidak pernah menyiksa jiwa. Itu adalah daya tarik yang meandikan jiwa dalam kegembiraan; rasa lapar untuk kasih sayang, yang terpenuhi, mengisi jiwa dengan limpahannya; kelembutan yang menciptakan harapan tanpa menggerakkan jiwa, mengubah dunia menjadi surga  dan kehidupan menjadi mimpi indah. Di pagi hari saat aku berjalan di lading, aku melihat tanda keabadian dalam alam yang terbangun, dan ketika aku duduk di tepi pantai aku mendengar gelombang menyanyikan lagu keabadian. Dan ketika aku berjalan di jalanan aku melihat keindahan para pejalan kaki dan gerakan para pekerja.

Hari-hari itu berlalu bagaikan hantu dan menghilang bagai awan, dan segera tidak ada yang tersisa, kecuali kenangan yang menyedihkan. Mata yang tadinya kugunakan untuk melihat keindahan musim semi dan bangunnya alam, tidak dapat melihat apa pun kecuali prahara dan kesengsaraan musim dingin. Telinga yang dulunya mendengar nyanyian lagu indah ombak, kini hanya mendengar deru angin dan debur ombak di lautan. Jiwa yang penuh kebahagiaan dan kejayaan alam semesta, tercabik-cabik oleh pengetahuan kekecewaan dan kegagalan. Tida ada yang lebih indah daripada hari-hari penuh cinta dan tidak ada yang lebih pahit daripada malam-malam penuh kepedihan.

Ketika aku tidak tahan lagi, aku pergi, saat akhir pekan sekali lagi ke rumah Selma, kuil di mana keindahan telah didirikan dan di mana cinta telah diberkati, di mana jiwa dapat memuja dan hati berlutut rendah dan berdoa. Ketika aku memasuki kebun aku merasakan sebuah kekuatan mendorongku jauh dari dunia ini dan menempatkanku dalam alam supernatural yang bebas dari perjuangan dan kesulitan. Seperti keajaiban yang menerima wahyu dari surga, aku melihat diriku di tengah-tengah pohon dan bunga, dan saat aku mendekati gerbang rumah aku melihat Selma duduk di bangku di bawah bayangan pohon melati di mana kami duduk seminggu yang lalu, malam yang dipilih Tuhan untuk awal kebahagiaan dan penderitaanku.

Ia tidak bergerak ataupun berkata saat aku mendekatinya. Ia tampaknya sudah tahu bahwa aku datang dan ketika aku duduk di sebelahnya ia menatapku sesaat dan menghela napas, lalu memalingkan kepalanya dan menatap langit. Dan setelah beberapa saat penuh dengan keheningan gaib.

Ia berbalik ke arahku dan dengan gemetar memegang tanganku dan berkata dengan suara penuh kepedihan, “Lihatlah aku, tamnku; pelajarilah wajahku dan bacalah dari wajah itu apa yang ingin kau ketahui yang tidak dapat kukatakan. Lihatlah aku, Kekasihku… lihatlah aku, Saudaraku.”

Aku menatapnya seksama dan melihat mata itu yang beberapa hari lalu tersenyum bagaikan bibir dan bergerak bagaikan sayap bulbul, kini telah tenggelam dalam kepedihan dan penderitaan. Wajahnya, yang dulu bagaikan kelopak lili yang dicium matahari, telah memudar dan menjadi hampa tanpa warna. Bibir manisnya seperti dua mawar layu yang telah ditinggalkan musim gugur di dahan mereka. Lehernya, yang dulu bagai pilar gading, kini menunduk seolah-olah tak sanggup lagi menyangga beban kesengsaraan di kepalanya.

Semua perubahan ini kulihat di wajah Selma, namun bagiku semua itu seperti awan yang menutupi wajah rembulan dan justru membuatnya lebih cantik. Tatapan yang menyingkapkan kepedihan di dalam jiwa menambah kecantikan wajahnya, tidak peduli betapa banyak tragedi dan kesedihan yang disiratkannya; namun wajah yang dalam keheningan tidak menunjukkan misteri tersembunyi, tidaklah cantik, tanpa peduli betapa simetri penampilannya. Cangkir tidak akan memberikan kenikmatan bagi bibir kecuali warna anggurnya terlihat melalui Kristal transparan.

Selma, malam itu seperti cangkir penuh dengan anggur ketuhanan yang bercampur kepahitan dan kemanisan hidup. Tanpa disadari, ia melambangkan wanita Timur yang tidak pernah meninggalkan rumah orangtua mereka sampai ia dipasangi belenggu oleh suaminya, yang tidak pernah meninggalkan lengan ibunya sampai ia harus hidup sebagai budak, menghadapi kekasaran ibu suaminya.

Aku terus menatap Selma dan mendengarkan jiwanya yang menderita sampai aku merasa waktu berhenti dan alam semesta telah pudar dalam keberadaannya. Aku hanya dapat melihat dua mata yang menatapku, dan aku dapat merasakan kedinginannya, gemetar dengan tangan menggenggam tanganku.

Aku terbangun dari ketidaksadaranku setelah mendengar Selma berkata perlahan, “Mari, Kekasihku, mari kita bicarakan masa depan mengerikan sebelum itu terjadi. Ayahku telah meninggalkan rumah untuk melihat laki-laki yang akan menjadi pendampingku hingga kematian datang. Ayahku, yang Tuhan pilih sebagai tujuan keberadaanku, akan bertemu dengan pria muda yang telah dipilih dunia untuk menjadi tuanku sampai akhir hidupku. Di jantung kota ini, pria tua itu yang telah menemaniku selama masa mudaku, akan menemui pria yang menemaniku untuk tahun-tahun mendatang. Malam ini ketua keluarga akan menentukan tanggal pernikahan. Betapa anehnya waktu. Minggu lalu pada saat yang sama, di bawah pohon melati, cinta memeluk jiwaku untuk yang pertama kalinya, sementara takdir menuliskan kata pertama kisah kehidupanku di rumah Uskup. Kini, sementara ayahku dan keluarga pria itu merencanakan hari pernikahan, aku melihat jiwamu berputar mengelilingiku, seperti seekor burung kehausan yang mencari air musim semi yang dijaga oleh ular kelaparan. Oh, betapa hebatnya malam ini! Dan betapa dalamnya misteri!”

Setelah mendengar kata-kata ini, aku merasa bahwa hantu kegelapan mencengkeram cinta kami hingga mencekiknya, dan aku menjawabnya, “Burung itu akan terus mencari air hingga dahaga menghancurkannya atau jatuh ke mulut ular dan menjadi mangsanya.”

Ia berkata lagi, “Tidak, Kekasihku, bulbul ini akan tetap hidup dan bernyanyi hingga gelap datang, sampai musim semi berlalu, sampai akhir dunia, dan terus bernyanyi selamanya. Suaranya tidak akan terdiam, karena ia membawa kehidupan kepada hatiku, sayapnya tidak akan patah karena gerakannya memindahkan awan kelabu dari hatiku.”

Lalu aku berbalik, “Selma, Kekasihku, dahaga akan membuatnya lelah, dan rasa takut akan membunuhnya.”

Ia menjawab cepat dengan bibir gemetarnya, “Dahaga jiwa lebih manis daripada anggur, dan ketakutan jiwa lebih penyayang daripada keamanan tubuh. Tetapi dengarkan, Kekasihku, dengarkan baik-baik, aku berdiri di sini hari ini, di depan pintu kehidupan baru yang tidak kuketahui sama sekali. Aku bagaikan orang buta yang merasakan jalannya sehingga ia tidak akan jatuh. Kekayaan ayahku telah membeliku. Aku tidak tahu dan tidak mencintainya, namun aku akan belajar mencintainya, dan aku akan mematuhinya, melayaninya, dan membuat dia bahagia. Aku akan memberi dia semua yang dapat diberikan seorang wanita lemah pada laki-laki kuat.”

Tetapi kau, kekasihku, masih berada dalam awal kehidupan. Kau dapat berjalan dengan bebas di jalan setapak dunia yang dialasi bunga. Kau bebas untuk menjelajahi dunia, membuat obor dari hartimu untuk menerangi jalanmu. Kau dapat berpikir, berbicara, dan berlaku bebas; kau dapat menuliskan namamu di wajah kehidupan karena kau adalah seorang laki-laki; kau dapat hidup sebagai tuan karena kekayaan ayahmu tidak akan menempatkanmu dipasar budk untuk dibeli dan dijual; kau dan sebelum ia tinggal di rumahmu, kau dapat membiarkan dirinya tinggal dalam hatimu.”

Keheningan menyelimuti selama beberapa saat, dan Selma melanjutkan, “Namun, apakah sekarang kehidupan akan memisahkan kita sehingga kau dapat memperoleh kejayaan seorang pria dan aku tugas seorang wanita? Apakah untuk ini lembah menelan nyanyian bulbul dan angin menyerakkan mahkota bunga mawar? Apakah semua malam yang kita jurangkan dalam sinar rembulan di dekat pohon melati, di mana hati kita bersatu adalah sia-sia? Apakah kita terbang cepat menuju bintang-bintang sampai sayap kita lelah dan kita turun hingga ke jurang? Atau apakah cinta yang tertidur ketika ia datang kepada kita, dan apakah ia ketika terbangun, menjadi marah dan menghukum kita? Atau apakah jiwa kita mengubah semilir malam menjadi angin yang mencabik-cabik kita dan meniup kita seperti debu ke jurang yang dalam? Kita tidak melanggar perintah, ataupun mencicipi buah terlarang, apa yang membuat kita harus meninggalkan surga? Kita tidak pernah melakukan kejahatan, lalu mengapa kita turun ke neraka. Tidak, tidak, saat-saat yang menyatukan kita lebih agung daripada abad, dan cahaya yang menyinari jiwa kita lebih kuat daripada gelap, dan bila prahara memisahkan kita dalam lautan kuat ini, gelombang akan kembali menyatukan kita di pantai yang tenang; dan bila kehidupan membunuh kita, kematian akan kembali menyatukan kita. Hati seorang wanita tidak akan berubah karena waktu atau musim, bahkan ia akan mati dalam keabadian. Hati seorang wanita bagaikan ladang yang berubah menjadi medan perang; setelah terbakar dan batu-batu memerah oleh darah dan tanah ditanami tulang serta kerangka, tempat itu akan menjadi tenang seolah-olah tidak ada yang pernah terjadi, karena musim semi dan musim gugur datang berselang-seling dan menyelesaikan pekerjaan mereka.”

Dan kini, Kekasihku, apa yang akan kita lakukan? Bagaimana kita berpisah dan kapan kita akan bertemu? Apakah kita harus mempertimbangkan cinta, orang asing yang datang di malam hari dan meninggalkan kita di pagi hari? Atau apakah kita menganggap kasih sayang ini cinta yang datang dalam tidur kita dan pergi ketika kita terbangun?”

Apakah kita akan menganggap minggu ini satu jam memabukkan yang akan digantikan dengan kesadaran? Angkatlah kepalamu dan biarkan aku menatapmu, Kekasihku; buka bibirmu dan biarkan aku mndengar suaramu. Berbicaralah! Akankah kau akan mendengar bisikan sayapku dalam keheningan malam? Apakah kau akan mendengar jiwaku berputar di atasmu? Akankah kau akan melihat bayanganku mendekati fajar? Katakana padaku, Kekasihku, akan mataku, lagu indah di telingaku, dan sayap jiwaku? Akan menjadi apa dirimu?”

Setelah mendengar kata-kata ini, hatiku mencair, dan aku menjawabnya, “Aku akan menjadi apayang kau inginkan, Kekasihku.”

Lalu ia berkata, “Aku ingin kau mencintaiku seperti penyair yang mencintaik benak penderitaannya. Aku ingin kau mengingatku seperti pengembara yang mengingat kolam tenang di mana bayangannya dipantulkan saat ia meminum airnya. Aku ingin kau mengingatku seperti seorang ibu yang mengingat anaknya yang mati sebelum anak itu melihat cahaya, dan aku ingin kau mengingatku seperti seorang raja pengampun yang mengingat tawanannya yang mati sebelum menerima ampunannya. Aku ingin kau menjadi temanku, dan aku ingin kau mengunjungi ayahku dan menghiburnya dalam kesendiriannya karena aku akan segera meninggalkannya dan akan menjadi orang asing baginya.”

Aku menjawabnya, “Aku akan lakukan apa yang kau katakana dan akan membuat jiwaku sebuah pembungkus untuk jiwamu, dan hatiku sebagai tempat tinggal untuk kecantikanmu dan dadaku untuk kubur penderitaanmu. Aku akan mencintaimu, Selma, seperti padang rumput mencintai musim semi, dan aku akan hidup dalam kehidupan bunga di bawah sinar matahari. Aku akan menyanyikan namamu seperti lembah menyanyikan gema denting lonceng gereja; aku akan mendengarkan bahasa jiwamu bagaikan pantai mendengarkan cerita ombak. Aku akan mengingatmu seperti orang asing yang menginat negeri tercintanya. Aku akan mengingatmu seperti pria kelaparan mengingat makanan, dan seperti raja turun takhta yang mengingat masa kejayaannya, dan seorang tawanan mengingat kebebasan. Aku akan mengingatmu seperti benih mengingat gandum, dan seperti seorang gembala mengingat padang rumput hijau dan sungai indah.”

Selma mendengarkan kata-kataku dengan hati berdegup, dan berkata, “Esok kebenaranan akan menjadi seperti hantu dan kesadaran akan seperti mimpi. Akankah seorang kekasih puas dengan memeluk hantu, atau akankah seorang pria kehausan memenuhi dahaganya dari musim semi mimpi?”

Aku menjawabnya, “Esok, takdir akan menempatkanmu di tengah keluarga yang penuh kedamaian, namun takdir akan mengirimku ke dunia penuh perjuangan dan peperangan. Kau akan berada di rumah seseorang yang kesempatannya membuat ia memperoleh kecantikan dan kebijakanmu, sementara aku akan hidup dalam penderitaan dan ketakutan. Kau akan memasuki gerbang kehidupan, sementara aku memasuki gerbang kematian. Kau akan diterima dengan senang hati, sementara aku berada dalam ksendirian, namun aku akan mendirikan patung cinta dan memujanya di setiap lembah kematian. Cinta akan menjadi satu-satunya penenangku, dan aku akan meminum cinta seperti anggur dan mengenakannya seperti pakaian. Saat fajar cinta akan membangunkanku dari tidur, dan membawaku ke lading yang jauh, dan saat tengah hari ia akan membimbingku ke bawah bayangan pohon, di mana aku bertdeuh dengan burung dari terik matahari. Saat petang ia akan menyebabkanku berhenti di depan matahari tenggelam untuk mendengar nyanyian perpisahan alam kepada cahaya siang dan akan menunjukkan padaku awan yang berlayar di langit. Saat malam, cinta akan memelukku dan aku akan tertidur, memimpikan dunia di mana jiwa kekasih dan penyair berada. Saat musim semi aku akan berjalan beriringan dengan cinta di antara violet dan melati, dan meminum tetesan musim dingin di kelopak lili. Saat musim panas kami akan membuat jerami sebagai bantal dan rumput sebagai ranjang, dan langit biru akan melindungi kami saat kami menatap bintang dan bulan.”

Saat musim dingin cinta dan aku akan pergi ke perkebunan anggur dan duduk di dekat penggilingan anggur melihat tanaman anggur yang ditelanjangi oleh ornament keemasan, dan kawanan burung berpindah akan terbang di atas kami. Pada musim dingin kami akan duduk di dekat perapian mengumandangkan cerita-cerita masa lalu kami. Selama masa mudaku, cinta akan menjadi guruku; di pertengahan usia, pertolonganku; masa tua, kebahagiaanku; cinta, kekasihku Selma, akan terus bersamaku sampai akhir hidupku, dan setelah kematian di tangan Tuhan akan menyatukan kita kembali.”

Semua kata-kata ini datang dari lubuk hatiku seperti nyala api yang melompat dari hati lalu menghilang menjadi abu. Selma menangis soelah-olah matanya adalah bibir yang menjawabku dengan air mata.

Mereka cintanya tidak diberi sayap tidak dapat terbang di balik awan untuk melihat keajaiban dunia di mana jiwa Selma dan jiwaku bersatu dalam saat indah yang penuh penderitaan. Mereka yang cintanya tidak dipilih sebagai pengikut tidak akan mendengar ketika cinta memanggil. Cerita ini bukan untuk mereka. Bahkan bila mereka memahami halaman-halaman ini, mereka tidak akan mampu menggenggam arti berbayang yang tidak diselubungi dalam kata dan tidak tinggal dalam kertas, namun manusia apa yang tidak pernah mencicipi anggur dari cangkir cinta, dan jiwa apa yang tidak pernah berdiri di depan altar bersinar di kuil yang pinggirannya adalah hati pria dan wanita, dan yang langit-langitnya adalah kanopi rahasia mimpi? Bunga apa yang ada dalam daun yang tidak pernah ditetesi embun fajar; aliran sungai apa yang kehilangan jalannya menuju laut?

Selma mengangkat mukanya menengadah ke langit dan memandang bintang-bintang yang berada di cakrawala. Ia menjulurkan tangannya; matanya melebar dan bibirnya bergetar. Di wajah pucatnya aku dapat melihat tanda kepedihan, penindasan. Ketidakberdayaan, keputusasaan, dan penderitaan.

Lalu ia berseru, “Oh Tuhan, apa yang telah seorang wanita lakukan kepada-Mu? Dosa apa yang telah ia lakukan hingga layak menerima hukuman seperti ini? Karena kejahatan apa ia pantas mendapatkan penyiksaan seperti ini? Oh, Tuhan, Kau kuat dan aku lemah. Mengapa Kau membuatku menderita seperti ini? Kabu besar dan agung, sementara aku tidak lain hanyalah makhluk kecil yang merangkak di hadapan singgasana-Mu. Mengapa Kau menginjakku dengan kaki-Mu? Kau adalah prahara yang murka, dan aku seperti debu; mengapa, oh Tuhan, mengapa kau melemparkanku ke tanah yang dingin? Kau kuat dan aku tidak berdaya; mengapa Kau memerangiku? Kau penyayang dan aku sopan; mengapa Kau menghancurkanku? Kau telah menciptakan wanita dengan cinta, dan mengapa, dengan cinta, Kau menghancurkannya? Dengan tangan kanan-Mu kau mengangkatnya, dan dengan tangan kiri-Mu kau membuangnya ke dalam jurang, dan ia tidak tahu mengapa. Dalam mulutnya Kau meniupkan napas kehidupan, dan dalam hatinya Kau menebar benih kematian. Kau menunjukkan padanya jalan kebahagiaan, namun Kau membawa dia menuju jalan kesengsaraan; di mulutnya Kau tempatkan sebuah lagu kebahagiaan, namun kemudian Kau menutup bibirnya dengan penderitaan dan lidahnya dengan kepedihan. Dengan jari misterius-Mu Kau menyembuhkan lukanya, dan dengan tangan kanan-Mu Kau gambarkan kepedihan di sekeliling kebahagiaannya. Di ranjangnya Kau menyembunyikan kenikmatan dan kedamaian, namun di sampingnya Kau dirikan ketakutan dan kegelapan. Kau memberinya kasih sayang dengan kehendak-Mu, dan darinya Kau ambil kasih sayang itu. Dengan kehendak-Mu Kau menunjukkan padanya keindahan ciptaan, namun cintanya untuk keindahan menjadi kelaparan. Kau membuatnya meminum kehidupan dari cangkir kematian, dan kematian dari cangkir kehidupan.”

Kau menyucikannya dengan air mata, dan dalam air mata hidupnya mengalir menjauh. Oh, Tuhan, Kau telah membuka mataku dengan cinta, dan dengan cinta Kau telah membutakanku. Kau telah menanamkan dalam hatiku setangkai mawar putih, namun di sekelilingnya kau bangun pagar berduri. Kau telah mengikat masa kiniku dengan jiwa seorang pria muda yang kucintai, namun kehidupanku dengan tubuh pria lain yang tak ku kenal. Tolonglah aku, Tuhan, untuk menjadi kuat dalam perjuangan mematikan ini dan bantu aku untuk selalu jujur dan baik sampai mati. Kau akan melakukannya, oh Tuhan.”

Keheningan menyelimuti. Selma menunduk, pucat dan letih; lengannya terjuntai dan kepalanya menunduk dan tampaknya bagiku seolah-olah prahara telah mematahkan ranting dari sebuah pohon dan melemparnya dalam kekeringan.

Aku mengangkat dinginnya dan menelannya, namun ketika aku berusaha untuk menghiburnya, tampaknya justru aku lebih membutuhkan penghiburan. Aku diam, memikirkan doa hidup kami dan mendengarkan detak jantungku. Tidak ada lagi di antara kami yang harus dikatakan.

Penyiksaan terdiam, dan kami duduk dalam hening, bagaikan pilar pualam yang terkubur di bawah pasir karena gempa bumi. Tidak ada yang diharapkan untuk didengarkan karena detak jantung kami menjadi lemah dan bahkan napas dapat mematahkannya.

Saat itu tengah malam dan kami dapat melihat bulan sabit muncul dari balik Gunung Sunnin, dan kelihatannya, di tengah bintang-bintang, bagaikan wajah sesosok mayat, dalam peti mati yang dikelilingi oleh cahaya temaram lilin. Dan Lebanon kelihatan seperti orang tua yang punggungnya bungkuk karena usia dan yang matanya lelah karena insomnia, memandang kegelapan dan menunggu fajar, seperti seorang raja duduk di atas abu takhtanya di istananya yang telah hancur.

Gunung-gunung, pepohonan dan sungai mengubah penampilan mereka dengan berlalunya waktu dan musim, seperti seorang manusia yang berubah karena pengalaman dan emosinya. Pohon poplar yang terlihat seperti pengantin wanita di siang hari, kini terlihat bagai pilar asap; karang besar yang berdiri kokoh di tengah hari kelihatan seperti fakir di tengah malam, dengan tanah sebagai ranjang dan langit sebagai selimutnya, dan sungai yang kita lihat berkilau di siang hari dan menyanyikan himne keabadian, di malam hari menjadi sungai air mata ratapan seorang ibu yang menangisi anaknya, dan Lebanon, yang terlihat bermartabat minggu lalu, ketika bulan purnama dan jiwa kami berbahagia, tampak menderita dan kesepian malam itu.

Kami berdiri dan mengucapkan selamat berpisah, namun cinta dan keputusasaan berdiri di antara kami seperti dua hantu yang satu mengembangkan sayapnya dengan jari di tenggorokan kami, sementara yang satu lagi menangis dan yang lain tertawa.

Saat aku menggenggam tangan Selma untuk kucium, ia mendekat padaku dan mencium dahiku, lalu terduduk di bangku kayu. Ia menutup matanya dan berbisik lembut, “Oh, Tuhan, ampunilah aku dan sambungkan sayap patahku!”

Saat aku meninggalkan Selma di kebun, aku merasa seolah-olah indraku ditutup oleh tabir tebal, seperti danau yang permukaannya tertutup kabut.

Keindahan pepohonan, rembulan, dan keheningan, semua bagiku terlihat mengerikan. Cahaya nyata yang telah menunjukkan padaku keindahan alam semesta telah berubah menjadi nyala api yang membakar hatiku, dan musik abadi yang dulu kudengar menjadi hiruk pikuk, lebih mengerikan daripada auman singa.

Aku tiba di kamarku, dan seperti burung terluka yang ditembak pemburu, aku jatuh di ranjangku, mengulang kata-kata Selma, “Oh, Tuhan, ampunilah aku dan sambungkan sayap patahku!”

"Dan aku pun tersadar, bom waktu terus tetap berjalan, entah kapan akan meledak dan menghancurkan semuanya, akupun tak tahu."

=========================
SELMA MENGHAPUS AIR MATANYA DAN BERKATA. ‘LIHATLAH BETAPA WAKTU TELAH MENGUBAH JALAN HIDUP KITA DAN MENINGGALKAN KITA DALAM RERUNTUHAN.’ ”
 

Kahlil Gibran © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates